Fikes.umsida.ac.id – Tuberkulosis (TBC) masih menjadi ancaman serius bagi kesehatan masyarakat di seluruh dunia, terutama di negara dengan iklim tropis seperti Indonesia. Seminar Nasional (SNIFEST) 2025 yang diadakan pada Sabtu, (23/08/2025), melalui Zoom Meeting, mengangkat tema yang sangat relevan, “Strengthening Multidisciplinary Synergy to Accelerate Tuberculosis Elimination by 2030”.
Baca Juga: SENSMIK 2025 Ungkap Transformasi Digital RME untuk Visualisasi Data Kesehatan Lebih Informatif
Seminar Nasional (SNIFEST) ini menghadirkan dua pemateri ahli yang memberikan wawasan mendalam tentang digital health innovation, manajemen kasus TBC, dan tantangan pengobatan TBC yang resisten.
Kegiatan SNIFEST membuka diskusi tentang bagaimana sinergi antara berbagai disiplin ilmu dapat mempercepat penghapusan TBC, yang menurut data, masih menempati posisi kedua dalam daftar negara dengan kasus TBC terbanyak.

SNIFEST 2025 : Inovasi Digital untuk Memperkuat Pengawasan dan Manajemen Kasus TBC
Pemateri pertama dalan SNIFEST 2025, Assoc Prof Dr Atif Amin Baig dari Management Science University, Malaysia, membahas Leveraging Digital Health Innovation to Strengthen TB Surveillance and Case Management.
Menurut Dr. Baig, inovasi digital adalah kunci untuk mempercepat pengendalian TBC melalui pengawasan yang lebih efektif dan manajemen kasus yang lebih efisien.
“Digitalisasi kesehatan dapat meningkatkan sistem pengawasan dengan memanfaatkan teknologi untuk melacak data pasien, mendeteksi gejala lebih cepat, dan memastikan perawatan yang lebih tepat sasaran,” jelas Dr. Baig.
Ia juga menyebutkan bahwa teknologi dapat membantu dalam mengintegrasikan data dari berbagai fasilitas kesehatan, memungkinkan pengambilan keputusan yang lebih cepat dan berbasis data.
Lebih lanjut, Dr. Baig menyoroti bahwa tuberkulosis yang resisten terhadap obat (MDR-TB dan XDR-TB) semakin sulit untuk dikendalikan. “Jika tidak diatasi dengan pendekatan yang tepat, TBC akan semakin sulit diberantas,” tambahnya. Inovasi digital akan memainkan peran besar dalam mengidentifikasi pasien yang memiliki potensi resisten obat, sehingga pengobatan yang lebih tepat dapat diberikan lebih awal.
Tantangan TBC Resisten: Memahami Penyakit dan Peluang Pengobatan
Pemateri kedua dalam SNIFEST, dr Rengganis Prawitrasari, seorang dosen di Fakultas Kedokteran Umsida, membahas Advancing Clinical and Drug-Resistant Tuberculosis in Adults: Challenges and Opportunities.
Menurut dr. Rengganis, salah satu tantangan terbesar dalam pengobatan TBC adalah munculnya jenis-jenis baru yang resisten terhadap obat, seperti MDR-TB dan XDR-TB.
“TBC bukan hanya masalah pencatatan dan pengawasan, tetapi juga membutuhkan pendekatan medis yang tepat, termasuk diagnosis yang cepat dan pengobatan yang sesuai,” ungkap dr. Rengganis. Ia menekankan pentingnya kolaborasi antar disiplin ilmu untuk menangani TBC, mengingat penyakit ini tidak hanya menyerang fisik tetapi juga mempengaruhi aspek sosial dan ekonomi masyarakat.
Dr. Rengganis juga mengungkapkan bahwa tuberkulosis lebih sering ditemukan di negara tropis seperti Indonesia, yang memiliki populasi padat dan sistem kesehatan yang terkadang terbatas dalam hal akses dan sumber daya. Hal ini memicu angka penularan yang tinggi. “TBC menyukai tempat dengan banyak oksigen dan udara segar, sehingga mudah menular melalui berbicara atau berinteraksi dengan orang lain,” ujarnya.
Menanggulangi TBC pada Anak dan Peran Orang Tua dalam Pengawasan Kesehatan
Seminar SNIFEST juga menyoroti pentingnya kewaspadaan terhadap TBC pada anak-anak, yang lebih rentan karena sistem imun tubuh mereka yang lebih lemah. TBC sering kali tidak memiliki gejala yang spesifik, sehingga sering kali didiagnosis sebagai penyakit lain. “Anak-anak yang mengalami penurunan berat badan yang signifikan harus segera dibawa ke posyandu untuk pemeriksaan lebih lanjut,” tegas dr. Rengganis.
TBC pada anak sering kali terlambat terdeteksi karena gejalanya yang mirip dengan penyakit lain. Oleh karena itu, peran orang tua sangat penting dalam menjaga kesehatan anak-anak dan melakukan imunisasi rutin yang dapat membantu mencegah penularan TBC. “Kewaspadaan dan edukasi orang tua dalam menjaga kesehatan anak sangat penting, terutama dengan vaksinasi yang ada di posyandu,” tambahnya.
Baca Juga: FIKES CHS Umsida Perluas Akses Layanan Kesehatan Gratis untuk Masyarakat Sidoarjo
Seminar Nasional (SNIFEST) 2025 memberikan wawasan yang berharga tentang pentingnya sinergi multidisiplin dalam pengendalian TBC. Dari inovasi digital yang dapat memperkuat pengawasan dan manajemen kasus TBC, hingga tantangan pengobatan TBC resisten dan pentingnya peran orang tua dalam pengawasan kesehatan anak, seminar ini menekankan bahwa penghapusan TBC memerlukan pendekatan yang holistik dan kolaboratif.
“Jika kita ingin mengurangi dan akhirnya menghilangkan TBC pada tahun 2030, kita harus memanfaatkan inovasi digital, memperkuat pengobatan yang tepat, dan melibatkan semua pihak dalam memberikan edukasi serta pengawasan,” ungkap dr. Rengganis dan Dr. Baig dalam sesi penutupan seminar.
Semoga dengan kolaborasi antara tenaga medis, peneliti, dan masyarakat, kita bisa bersama-sama mencapainya. TBC bukan hanya masalah medis, tapi juga tantangan global yang membutuhkan kerjasama dari berbagai sektor untuk diatasi.
Penulis : Novia