Fikes.umsida.ac.id – Pernikahan dini sering dianggap sebagai solusi sosial dan ekonomi, kenyataannya keputusan tersebut bisa membawa konsekuensi berat bagi remaja perempuan.
Riset yang dilakukan oleh Paramitha Amelia S ST M Keb, Hesty Widowati S Keb Bd M Keb dan Nurul Azizah S Keb Bd M Sc, dosen Program Studi Kebidanan Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida),
bersama Rischa Dwi Putri, mahasiswa Program Studi Pendidikan Profesi Bidan, mengungkap bahwa dampak pernikahan dini tidak hanya bersifat sosial, tetapi juga mengancam kesehatan reproduksi dan psikologis remaja perempuan.
Tubuh Remaja Belum Siap untuk Kehamilan

Secara fisiologis, organ reproduksi remaja belum matang untuk menghadapi kehamilan.
Baca Juga: Siapkan Mahasiswa Profesi Bidan dengan Pembekalan Intensif dan Hybrid Learning
Akibatnya, mereka berisiko mengalami komplikasi, kelahiran prematur, dan berat badan lahir rendah (BBLR) pada bayi.
Minimnya pengetahuan dan akses terhadap layanan kesehatan membuat remaja yang menikah muda kerap menghadapi risiko anemia, perdarahan, hingga gangguan kesuburan di kemudian hari.
Dalam jangka panjang, kesehatan ibu muda menjadi rentan dan berdampak langsung pada tumbuh kembang anak yang dilahirkan.
Tekanan Psikologis yang Sering Terabaikan

Selain masalah fisik, pernikahan dini juga menimbulkan beban emosional dan tekanan psikologis yang berat.
Banyak remaja perempuan harus mengemban tanggung jawab rumah tangga tanpa kesiapan mental yang memadai.
Cek Selengkapnya: Pelatihan Kader Posyandu Tambak Kalisogo, Langkah Umsida dan ITS Cegah Stunting
Hilangnya kesempatan pendidikan, ketergantungan ekonomi, serta tekanan sosial dapat memicu stres, depresi, kecemasan, hingga perasaan kehilangan arah hidup.
Faktor lingkungan sosial turut memperkuat praktik pernikahan dini.
Norma budaya dan tekanan masyarakat sering membuat remaja merasa tidak memiliki pilihan lain selain menikah.
Di beberapa daerah, pernikahan muda bahkan dianggap sebagai bentuk perlindungan keluarga terhadap anak perempuan.
Namun, tanpa kesiapan pengetahuan dan dukungan emosional, pernikahan justru menjadi sumber kerentanan baru bagi mereka.
Perlunya Edukasi dan Pendampingan

Mencegah pernikahan dini tidak cukup hanya dengan membatasi usia nikah.
Diperlukan pendidikan kesehatan reproduksi yang komprehensif, inklusif, dan berkelanjutan sejak usia sekolah.
Sekolah, puskesmas, dan keluarga harus berkolaborasi memberikan pemahaman tentang kesiapan fisik, emosional, serta tanggung jawab dalam pernikahan agar remaja dapat membuat keputusan hidup yang lebih bijak dan sehat.
Pernikahan dini bukan hanya persoalan budaya, tetapi juga isu kesehatan masyarakat yang harus ditangani bersama.
Dengan edukasi, dukungan psikologis, dan lingkungan yang aman, remaja dapat tumbuh menjadi generasi yang lebih sadar, sehat, dan berdaya, serta mampu menunda pernikahan hingga siap secara fisik dan mental untuk membangun masa depan yang lebih cerah.
Sumber: Riset Hesty Widowati S Keb Bd M Keb
Penulis: Elfira Armilia























