Fikes.umsida.ac.id – Kabupaten Sidoarjo kini menghadapi kenyataan pahit terkait peningkatan jumlah penderita HIV/AIDS yang terus melonjak dari tahun ke tahun.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Risma Nur Azizah mahasiswa D4 Manajemen Informasi Kesehatan (MIK) Universitas Muhammadiyah Sidoarjo bersama timnya yang terdiri dari Dr Umi Khoirun Nisak SKM M Epid, dosen D4 MIK Fakultas Ilmu Kesehatan, dan Uce Indahyanti MKom, dosen S1 Informatika Fakultas Sains dan Teknologi (FST).
Prediksi jumlah penderita HIV/AIDS di Sidoarjo pada 2025 mencapai 1.072 kasus, naik signifikan dibandingkan 686 kasus pada 2022.
Kenaikan ini bukan sekadar angka statistik, melainkan cerminan dari kompleksitas persoalan sosial yang membentuk wajah epidemi HIV/AIDS di daerah industri padat penduduk tersebut.
Baca Juga: MIK Umsida Ungkap Data Kesehatan dan Teknologi Digital Kunci Transformasi Kebijakan Publik
Peningkatan Kasus dan Realitas yang Mengkhawatirkan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas penderita HIV/AIDS di Sidoarjo adalah laki-laki, mencapai sekitar 70 persen dari total kasus.
Kelompok yang paling terdampak berada pada rentang usia produktif 25–49 tahun, dengan sebagian besar berasal dari kelompok laki-laki seks laki (LSL).
Data tersebut diperoleh dari Dinas Kesehatan Kabupaten Sidoarjo dan diolah menggunakan metode multiple linear regression melalui perangkat lunak RapidMiner.
Prediksi model menunjukkan tren peningkatan yang konsisten: tahun 2023 diperkirakan ada 795 kasus, naik menjadi 934 pada 2024, dan menembus 1.072 kasus pada 2025.
Angka ini memperlihatkan laju pertumbuhan yang mengkhawatirkan, terlebih jika pemerintah tidak segera memperkuat langkah pencegahan dan edukasi publik.
“Kenaikan ini bisa menjadi alarm bagi semua pihak bahwa penanganan HIV/AIDS tidak hanya soal medis, tapi juga sosial,” ujar tim peneliti dalam simpulan risetnya.
Cek Selengkapnya: Audit dan Penjaminan Mutu Rekam Medis Menjadi Kunci Utama Layanan Kesehatan Berkualitas
Perilaku Berisiko dan Minimnya Kesadaran

Faktor sosial memainkan peran penting dalam penyebaran HIV/AIDS di Sidoarjo.
Banyak kasus terjadi karena perilaku berisiko, seperti hubungan seksual tanpa pengaman, penggunaan jarum suntik secara bergantian di kalangan pengguna narkoba, hingga rendahnya tingkat edukasi tentang kesehatan reproduksi.
Minimnya kesadaran dan tingginya stigma sosial juga memperparah keadaan.
Sebagian masyarakat masih memandang HIV/AIDS sebagai “penyakit aib”, sehingga penderita enggan memeriksakan diri atau terbuka mengenai kondisinya.
Di sisi lain, kelompok rentan seperti ibu hamil, pekerja seks, dan komunitas LSL sering kali terpinggirkan dalam akses layanan kesehatan.
Penelitian juga menemukan bahwa faktor ekonomi menjadi pemicu tak langsung.
Rendahnya tingkat pendidikan dan keterbatasan lapangan kerja membuat sebagian individu rentan pada perilaku berisiko.
“Pengetahuan yang kurang dan kondisi sosial ekonomi yang lemah mempersempit akses terhadap informasi serta layanan kesehatan yang memadai,” tulis para peneliti dalam laporan mereka.
Cek Juga: 7 Kebiasaan Sederhana untuk Mengurangi Paparan Mikroplastik Menurut Ahli Umsida
Tantangan Pemerintah dalam Pengendalian dan Edukasi HIV/AIDS

Sebagai wilayah dengan aktivitas industri dan mobilitas tinggi, Sidoarjo memiliki tantangan tersendiri dalam mengendalikan penyebaran HIV/AIDS.
Pemerintah daerah melalui Dinas Kesehatan telah melakukan berbagai program, termasuk penyuluhan dan terapi ARV (antiretroviral) bagi ODHA.
Namun, program tersebut sering terkendala oleh keterbatasan tenaga kesehatan dan rendahnya partisipasi masyarakat.
Selain itu, pendekatan edukatif masih belum menyentuh akar persoalan sosial di lapangan.
Banyak masyarakat, khususnya generasi muda, belum memahami cara penularan HIV/AIDS secara benar.
Pergaulan bebas tanpa edukasi yang memadai menjadi faktor penentu penyebaran di kalangan usia produktif.
Dengan bantuan analisis data berbasis data mining, penelitian ini menyarankan agar pemerintah menggunakan hasil prediksi sebagai dasar kebijakan pencegahan.
Teknologi prediktif dapat membantu dalam perencanaan program kesehatan yang lebih tepat sasaran, terutama untuk wilayah dan kelompok masyarakat dengan risiko tinggi.
Membangun Kesadaran, Menghapus Stigma
Menghadapi ancaman peningkatan HIV/AIDS tidak cukup hanya dengan terapi medis, melainkan juga membangun kesadaran sosial yang lebih luas.
Masyarakat perlu memahami bahwa HIV/AIDS bukanlah hukuman moral, melainkan masalah kesehatan yang membutuhkan empati dan dukungan.
Institusi pendidikan, lembaga sosial, dan media massa juga memiliki peran penting dalam membangun literasi kesehatan masyarakat.
Pendekatan berbasis komunitas dengan mengedepankan inklusivitas dapat menjadi strategi efektif untuk menghapus stigma yang selama ini melekat pada ODHA.
Sidoarjo, sebagai daerah urban yang tumbuh pesat, tidak boleh membiarkan masalah ini menjadi bom waktu.
Dengan sinergi antara teknologi prediksi, edukasi sosial, dan kebijakan berbasis data, penanggulangan HIV/AIDS dapat menjadi langkah konkret dalam menciptakan masyarakat yang lebih sehat dan berdaya.
Penulis: Elfira Armilia




















