Fikes.umsida.ac.id – Menjadi seorang calon ibu adalah momen yang diimpikan banyak perempuan dan tak luput juga akan kebahagiaan keluarga.
Namun, di balik senyum bahagia dan harapan akan kehidupan baru, tersimpan juga ketakutan yang sering tak terucap.
Bagi sebagian wanita, terutama yang berisiko mengalami preeklamsia, kehamilan bukan hanya soal menanti kelahiran, tetapi juga perjuangan melawan kecemasan dan tekanan emosional yang berat.
Hal inilah yang menjadi sorotan dalam penelitian yang dilakukan oleh Dr Nurul Azizah S Keb Bd M Sc, dosen Program Studi S1 Kebidanan Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida), bersama mahasiswanya, Aliyah Gabriella Arrobani.
Melalui publikasi berjudul Managing Maternal Anxiety in Pregnancy through Interventions and Family Support,mengupas tentang bagaimana dukungan keluarga mampu menurunkan tingkat kecemasan ibu hamil dengan risiko preeklamsia.
Penelitian tersebut berangkat dari sebuah kasus nyata: seorang ibu berusia 35 tahun yang mengalami tekanan darah tinggi selama kehamilan.
Riwayat keluarga dengan preeklamsia, disertai kekhawatiran sosial yang berlebihan, membuat sang ibu tenggelam dalam pikiran negatif dan rasa takut kehilangan bayinya.
“Kecemasan ibu hamil bukan hanya reaksi emosional, tetapi juga berpengaruh langsung terhadap kondisi fisiologis tubuh, termasuk tekanan darah dan fungsi plasenta,” jelas Dr Nurul Azizah dalam hasil risetnya.
Baca Juga: Nurul Azizah Dosen Kebidanan Umsida Torehkan Publikasi Scopus Terbaik Life Science
Akar Masalah: Kecemasan yang Mengancam Kesehatan Ibu

Kecemasan selama kehamilan bukan hal sepele. Dalam banyak kasus, kondisi ini justru menjadi pintu masuk berbagai gangguan kesehatan, termasuk meningkatnya risiko preeklamsia.
Riset Dr Nurul menunjukkan bahwa stres yang berkepanjangan dapat memicu peningkatan kadar hormon adrenalin dan kortisol, dua zat yang mempersempit pembuluh darah serta meningkatkan tekanan darah.
Akibatnya, aliran darah ke plasenta terganggu, menimbulkan hipoksia janin, dan memperparah risiko komplikasi.
“Tubuh ibu yang terus berada dalam mode waspada akan mengalami kelelahan emosional dan fisik,” tulisnya.
Bahkan, beberapa ibu mengalami gejala seperti jantung berdebar, sulit tidur, dan mual tanpa sebab jelas.
Hal ini menunjukkan bahwa kecemasan bukan sekadar rasa takut dalam pikiran, tetapi berdampak nyata pada tubuh.
Karena itu, pendekatan penanganan preeklamsia tidak cukup hanya dari sisi medis. D
iperlukan perhatian terhadap aspek psikologis dan sosial ibu, termasuk bagaimana lingkungan terdekat berkontribusi terhadap ketenangan batin selama masa kehamilan.
Cek Juga: 2 Bidan di Yogyakarta Jual 66 Bayi Secara Ilegal, Bagaimana Kode Etiknya?
Keluarga sebagai Pilar Ketenangan Emosional

Dalam kasus tersebut, intervensi utama yang dilakukan bukan hanya pemeriksaan medis dan konseling psikologis, tetapi juga melibatkan keluarga sebagai bagian dari proses penyembuhan.
Edukasi kepada suami dan anggota keluarga diberikan agar mereka memahami pentingnya peran pendampingan selama kehamilan.
Keluarga diminta tidak sekadar menjadi pengamat, tetapi aktif memberikan dukungan emosional dengan cara menemani ibu saat kontrol kehamilan, mengingatkan jadwal pemeriksaan, dan memberi keyakinan bahwa ia mampu melalui proses persalinan dengan baik.
Menurut penelitian tersebut, kehadiran keluarga terbukti menumbuhkan rasa aman dan memperkuat kepercayaan diri ibu.
Ketika dukungan emosional hadir secara konsisten, kadar hormon stres seperti adrenalin dan kortisol menurun, sehingga tubuh ibu menjadi lebih rileks dan tekanan darah stabil.
Sebaliknya, stres yang berkepanjangan dapat memicu pelepasan hormon-hormon tersebut secara berlebihan, menyebabkan penyempitan pembuluh darah dan meningkatkan risiko preeklamsia.
“Dukungan keluarga yang positif bukan hanya meringankan beban mental, tetapi juga berdampak fisiologis. Ketika ibu merasa dicintai dan dipahami, tubuhnya merespons dengan lebih tenang,” paparnya.
Hal ini sejalan dengan teori kebidanan modern yang menempatkan keluarga sebagai bagian integral dari asuhan ibu hamil, bukan sekadar pendamping pasif.
Selain itu, penelitian ini juga menyoroti bagaimana afirmasi positif dari keluarga membantu membentuk pandangan optimistis terhadap kehamilan.
Kalimat sederhana seperti “Kamu kuat, kamu bisa melahirkan dengan baik” ternyata dapat mengubah persepsi ibu terhadap rasa sakit dan ketakutan.
Bagi ibu yang memiliki riwayat tekanan darah tinggi, perasaan tenang ini sangat berharga karena mampu menekan risiko komplikasi.
Cek Selengkapnya: Pentingnya Edukasi Gizi pada Ibu untuk Menunjang Tumbuh Kembang Anak
Kolaborasi antara Keluarga dan Tenaga Kesehatan

Penelitian Dr Nurul Azizah dan Aliyah menegaskan bahwa keberhasilan penanganan kecemasan pada ibu hamil bukan hanya tanggung jawab tenaga kesehatan, tetapi hasil kolaborasi antara bidan, dokter, dan keluarga.
Bidan memiliki peran vital dalam memberikan edukasi prenatal dan mendeteksi dini risiko preeklamsia.
Namun, kehadiran keluarga menjadi kunci keberlanjutan perawatan di luar ruang praktik.
Riset ini juga membuka mata bahwa pendekatan psikologis dalam kebidanan harus menjadi bagian dari pelayanan rutin, terutama bagi ibu dengan risiko tinggi.
Bukan hanya tekanan darah yang perlu dipantau, tetapi juga kondisi emosional yang menyertainya.
Ketika ibu hamil merasa cemas, tubuhnya merespons dengan ketegangan otot, peningkatan denyut jantung, dan terganggunya sirkulasi darah ke plasenta, kondisi yang bisa memperburuk preeklamsia.
“Komunikasi yang baik, empati, dan dukungan spiritual bisa menjadi terapi sederhana yang luar biasa efektif,” tulis Dr Nurul dalam kesimpulan penelitiannya.
Penulis: Elfira Armilia




















