Fikes.umsida.ac.id – Kolaborasi antara Program Studi Informatika dan Manajemen Informasi Kesehatan Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida) membuktikan bahwa metode Support Vector Machine (SVM) mampu mengklasifikasikan sinyal Electroencephalogram (EEG) antara kondisi iktal (kejang) dan interiktal (tidak kejang) dengan akurasi mencapai 100 persen.
“Metode klasifikasi SVM yang diusulkan dapat melakukan klasifikasi sinyal EEG untuk memprediksi iktal epilepsi dengan sangat baik,” tegas tim peneliti dalam publikasinya.
Temuan ini menjadi terobosan penting dalam mendukung diagnosis epilepsi yang lebih cepat dan akurat, sekaligus memanfaatkan teknologi pembelajaran mesin untuk membantu dunia medis.
Epilepsi dan Tantangan Klasifikasi Sinyal EEG

Epilepsi merupakan gangguan neurologis kronis yang mempengaruhi sekitar 50 juta orang di seluruh dunia. Kondisi ini ditandai dengan iktal berulang, perubahan mendadak dalam fungsi listrik otak yang memicu kejang, hilangnya kesadaran, atau gerakan tak terkendali.
Meskipun Electroencephalogram (EEG) telah lama digunakan untuk merekam aktivitas listrik otak, sifat sinyalnya yang acak dan tidak stasioner menyulitkan analisis visual.
Peneliti menjelaskan, “Inspeksi visual untuk deteksi iktal epilepsi pada sinyal EEG memakan waktu dan dapat menyebabkan kesalahan. Oleh karena itu, kerangka kerja otomatis untuk deteksi iktal dengan akurasi tinggi sangat diperlukan.”
Untuk mengatasi tantangan ini, klasifikasi otomatis berbasis machine learning menjadi solusi. Dengan mengubah sinyal EEG menjadi data fitur yang dapat dibaca komputer, sistem dapat membedakan kondisi iktal dan interiktal secara konsisten dan cepat.
Penerapan SVM dengan Data EEG
Dalam penelitian ini, data EEG diperoleh dari 24 pasien pada dataset publik CHB-MIT EEG dari Children’s Hospital, Boston. Data dibagi menjadi 50 sinyal iktal dan 50 sinyal interiktal. Sebelumnya, sinyal ini telah diproses menggunakan metode Discrete Wavelet Transform (DWT) untuk mengekstraksi empat fitur utama: nilai maksimum, minimum, rata-rata (mean), dan standar deviasi.
Fitur-fitur ini kemudian menjadi input bagi metode SVM, yang menggunakan tiga jenis kernel—linier, radial, dan sigmoid—untuk menguji performa klasifikasi.
“Kernel yang digunakan pada proses klasifikasi yaitu kernel linier, radial, dan sigmoid. Variasi model kernel digunakan untuk mengetahui fungsi kernel yang paling baik dalam melakukan klasifikasi berdasarkan rekaman sinyal EEG,” jelas tim peneliti.
Pengujian dilakukan dalam tiga skenario: 90% data latih dan 10% data uji, 80% data latih dan 20% data uji, serta 70% data latih dan 30% data uji. Hasilnya menunjukkan bahwa akurasi tertinggi—100 persen—dicapai pada skenario pertama dengan proporsi data latih terbesar.
Hasil dan Dampaknya bagi Dunia Medis
Temuan penelitian ini menegaskan bahwa jumlah data latih memiliki pengaruh signifikan terhadap akurasi klasifikasi.
“Semakin banyak data latih maka semakin tinggi tingkat akurasi dalam mengenali pola iktal epilepsi,” tulis peneliti. Menariknya, variasi kernel tidak menunjukkan pengaruh besar terhadap akurasi, sehingga pemilihan kernel dapat lebih fleksibel.
Dengan akurasi mencapai 100 persen pada pengujian terbaik, metode ini berpotensi besar diimplementasikan dalam sistem diagnosis epilepsi berbasis komputer. Kecepatan dan konsistensi SVM dalam mengolah data EEG memungkinkan dokter mendapatkan gambaran awal kondisi pasien secara objektif sebelum melanjutkan pemeriksaan klinis.
Lebih dari sekadar pencapaian teknis, penelitian ini mencerminkan komitmen Umsida dalam memadukan ilmu kesehatan dan teknologi. Dengan pendekatan inovatif ini, diharapkan proses deteksi epilepsi menjadi lebih cepat, akurat, dan dapat membantu pasien mendapatkan penanganan yang tepat waktu.
Metode SVM terbukti menjadi alat klasifikasi yang efektif untuk membedakan sinyal EEG iktal dan interiktal, dengan akurasi hingga 100 persen pada kondisi optimal. Dengan dukungan ekstraksi fitur dari DWT dan pemanfaatan dataset berkualitas, penelitian ini memberikan pijakan kuat bagi pengembangan sistem deteksi epilepsi berbasis AI.
“Diharapkan dengan metode SVM yang diusulkan dapat mendeteksi iktal epilepsi menggunakan rekaman sinyal EEG,” tutup tim peneliti, menegaskan arah masa depan teknologi kesehatan yang lebih cerdas dan adaptif.
Sumber: Umi Khoirun Nisak
Penulis: Novia