Fikes.umsida.ac.id – Nyeri menjadi perhatian utama dalam praktik Fisioterapi, karena mampu memengaruhi kualitas hidup pasien. Dalam penelitian terbaru, terdapat penjelasan mendalam mengenai mekanisme biomolekular nyeri, khususnya dalam modulasi dan penyampaian sinyal nyeri di otak.
Arisandy Achmad MFis PhDPT(C) dalam kuliah tamu di Fisioterapi Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Fikes Umsida) juga membahas tentang bagaimana tubuh manusia merasakan, mengolah, dan merespons rasa nyeri, terutama melalui terapi yang melibatkan modulasi nyeri. Mari kita telaah lebih lanjut mekanisme biomolekular di balik pengalaman nyeri dan pengaruhnya dalam praktik fisioterapi modern.
Baca juga: Mahasiswi S1 Kebidanan Umsida Raih Prestasi Internasional di The 5 Borneo Global Summer Camp
Jalur Penyampaian dan Modulasi Sinyal Nyeri di Otak
Penelitian ini mengidentifikasi jalur-jalur saraf utama yang terlibat dalam penyampaian dan modulasi sinyal nyeri, dimulai dari neuron aferen primer yang berada di ganglia akar dorsal atau ganglia trigeminal. Neuron ini bertanggung jawab atas transmisi awal sinyal nyeri ke otak melalui sumsum tulang belakang.
Neuron sekunder melintasi garis tengah dan membawa sinyal ke thalamus dan berbagai bagian otak lainnya, termasuk medula oblongata, pons, dan otak tengah. Di area-area otak tersebut, sinyal ini diproses lebih lanjut sehingga menghasilkan pengalaman nyeri yang dirasakan pasien.
Dalam konteks fisioterapi, pemahaman terhadap jalur ini sangat penting. Fisioterapis dapat merancang strategi terapi yang efektif dengan mempertimbangkan lokasi dan intensitas nyeri. Selain itu, area otak seperti korteks somatosensori bertanggung jawab atas aspek sensori-discriminatif nyeri seperti intensitas dan lokasi. Sementara itu, area kortikal limbik, seperti korteks cingulate anterior dan insula, memediasi aspek emosional nyeri. Respon emosional ini turut memperburuk atau bahkan memperpanjang sensasi nyeri.
Dok Istimewah
Sensitisasi Sentral: Penguat Rasa Nyeri
Hal ini juga menguraikan tentang fenomena sensitisasi sentral, yang memainkan peran penting dalam peningkatan sensasi nyeri, terutama dalam kasus nyeri kronis. Sensitisasi sentral terjadi ketika rangsangan nyeri yang terus-menerus menyebabkan perubahan pada neuron di sumsum tulang belakang, sehingga meningkatkan kepekaan terhadap rasa nyeri. Salah satu mekanisme utamanya adalah melalui potensiasi sinaptik antara ujung terminal aferen primer dengan neuron sekunder di tanduk dorsal sumsum tulang belakang.
Proses ini melibatkan peningkatan aliran kalsium yang memicu pelepasan neurotransmitter seperti glutamat dan substansi P. Neurotransmitter ini mengaktifkan reseptor AMPA dan NMDA pada neuron sekunder, yang mengakibatkan peningkatan eksitasi dan penyesuaian jangka panjang pada pengaturan gen. Alhasil, neuron lebih mudah merespons rangsangan nyeri, sehingga memperkuat sensasi nyeri yang dialami oleh pasien.
Kondisi ini, yang dikenal sebagai “painful soup” atau “sup nyeri,” melibatkan berbagai molekul mediator seperti prostaglandin, sitokin, faktor neurotrofik yang berasal dari otak (BDNF), nitrogen monoksida, dan adenosin trifosfat (ATP). Semuanya berperan dalam memperkuat pesan nyeri yang diteruskan ke pusat-pusat otak yang lebih tinggi. Pengetahuan tentang proses ini memberikan wawasan yang lebih baik kepada fisioterapis dalam menangani nyeri kronis, sehingga mereka bisa mengurangi sensitisasi melalui teknik yang memodulasi aktivitas saraf.
Modulasi Opioid: Efek Presinaptik dan Postsinaptik dalam Pengendalian Nyeri
Salah satu komponen penting lainnya yang dibahas dalam penelitian ini adalah peran opioid dalam modulasi nyeri. Opioid bekerja pada tingkat presinaptik dan postsinaptik untuk mengurangi sensasi nyeri. Pada sisi presinaptik, opioid menghambat pelepasan neurotransmitter melalui penghambatan saluran kalsium, sedangkan pada sisi postsinaptik, mereka mengaktifkan saluran kalium sehingga terjadi hiperpolarisasi membran. Kombinasi efek ini mengakibatkan pengurangan sinyal nyeri yang diteruskan ke otak.
Penelitian ini juga menjelaskan mekanisme spesifik dari opioid, yaitu dengan membedakan sinyal yang dihasilkan oleh subunit protein Gα dan Gβγ. Protein Gα menekan aktivitas adenilat siklase, sementara protein Gβγ menghambat pembukaan saluran kalsium presinaptik.
Mekanisme ini menurunkan pelepasan neurotransmitter yang terkait dengan rasa nyeri, sehingga menekan nyeri secara keseluruhan. Dalam konteks fisioterapi, pengetahuan ini bermanfaat bagi penanganan nyeri yang disebabkan oleh peradangan kronis atau cedera jaringan lunak, di mana opioid dapat digunakan sebagai pelengkap dalam pengelolaan nyeri.
Tantangan dan Implikasi dalam Praktik Fisioterapi
Pemahaman tentang mekanisme biomolekular nyeri membuka peluang besar dalam terapi nyeri yang lebih efektif. Fisioterapis kini memiliki dasar ilmiah untuk merancang pendekatan terapi yang lebih efektif dalam mengurangi sensasi nyeri, baik melalui teknik manipulasi fisik maupun pendekatan neuromodulasi lainnya. Tantangan utama adalah bagaimana menggunakan pengetahuan ini secara aman dan efektif tanpa menyebabkan ketergantungan pada opioid atau efek samping lain yang merugikan.
Baca juga: Kuliah Tamu Fikes Umsida, Kupas Tuntas Mekanisme Biomolecular dalam Fisioterapi
Pendekatan non-farmakologis seperti terapi manual, terapi latihan, dan penggunaan modalitas fisik lainnya memiliki peran penting dalam meredakan nyeri tanpa ketergantungan. Selain itu, pemahaman tentang aspek emosional nyeri mengingatkan kita bahwa dukungan psikologis juga penting dalam penanganan nyeri kronis.
Penelitian ini juga membuka peluang untuk mengembangkan pendekatan berbasis bukti yang lebih kuat dalam fisioterapi. Mengingat bahwa nyeri tidak hanya sekadar sensasi, tetapi juga pengalaman yang melibatkan aspek fisik, emosional, dan psikologis, maka pendekatan terapi yang holistik sangat diperlukan.
Penelitian tentang mekanisme biomolekular nyeri ini memberikan pandangan baru bagi para fisioterapis dalam mengelola nyeri pasien. Dengan memahami jalur-jalur spesifik, mekanisme sensitisasi, dan peran modulasi opioid, fisioterapis bisa lebih strategis dalam menangani nyeri, khususnya bagi pasien dengan kondisi nyeri kronis. Implementasi pengetahuan ini dalam praktik sehari-hari akan membantu fisioterapis memberikan perawatan yang lebih tepat dan berfokus pada kebutuhan individual pasien, meningkatkan kualitas hidup mereka secara signifikan.
Sumber Arisandy Achmad MFis PhDPT(C)
Penulis: Ayunda H